Beranda | Artikel
Ringkasan Kaidah Nahwu
Jumat, 20 Mei 2016

Kaidah nahwu adalah kaidah-kaidah yang secara khusus membahas keadaan akhir kata di dalam bahasa arab, kedudukan/jabatan setiap kata di dalam kalimat, dan tata-cara meng-i’rob.

Keadaan akhir kata di dalam bahasa arab ditentukan oleh jenis kata dan jabatannya di dalam kalimat. Ada kata yang akhirannya tetap dan ada yang akhirannya bisa berubah. Perubahan akhir kata karena perbedaan jabatan/kedudukan di dalam kalimat disebut dengan istilah i’rob.

I’rob di dalam bahasa arab ada empat; rofa’, nashob, jar, dan jazem. Rofa’ ditandai dengan harokat akhir dhommah atau tanda lain yang menggantikannya. Nashob ditandai dengan harokat akhir fathah atau tanda lain yang menggantikannya. Jar ditandai dengan harokat akhir kasroh atau tanda lain yang menggantikannya. Jazem ditandai dengan harokat akhir sukun atau tanda lain yang menggantikannya. Keempat tanda tersebut -dhommah, fathah, kasroh, dan sukun- adalah tanda i’rob yang asli/pokok, sedangkan tanda-tanda yang lain merupakan tanda yang cabang.

Kata (al-kalimah) dalam bahasa arab terbagi menjadi tiga kategori; isim, fi’il, dan harf. Isim (kata benda) menunjukkan kepada makna pada dirinya sendiri dan tidak berkaitan dengan waktu. Fi’il (kata kerja) menunjukkan makna pada dirinya sendiri dan berkaitan dengan waktu. Harf (kata penghubung) menunjukkan makna sempurna bila digabung dengan selainnya.

Kalimat (al-jumlah) dalam bahasa arab terbagi menjadi dua macam; jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah. Jumlah ismiyah tersusun dari mubtada’ dan khobar. Mubtada’ sebagai yang diterangkan, sedangkan khobar adalah yang menerangkan. Jumlah ismiyah diawali dengan isim. Adapun jumlah fi’liyah diawali dengan fi’il. Jumlah fi’liyah bisa berupa kalimat aktif atau kalimat pasif. Kalimat aktif terdiri dari fi’il ma’lum (kata kerja aktif) dan fa’il (pelaku). Adapun kalimat pasif terdiri dari fi’il maj-hul (kata kerja pasif) dan na’ibul fa’il (pengganti pelaku, asalnya objek).

Isim yang akhirannya bisa berubah disebut isim yang mu’rob, sedangkan isim yang akhirannya selalu tetap disebut isim yang mabni. Demikian juga fi’il yang akhirannya bisa berubah disebut fi’il yang mu’rob, sedangkan fi’il yang akhirannya selalu tetap disebut fi’il yang mabni.

I’rob pada isim ada tiga yaitu ; rofa’, nashob, dan jar. Adapun i’rob pada fi’il adalah ; rofa’, nashob, dan jazem. Isim atau fi’il yang di-rofa’ disebut berada dalam keadaan marfu’. Isim atau fi’il yang di-nashob disebut berada dalam keadaan manshub. Isim yang di-jar disebut berada dalam keadaan majrur. Dan fi’il yang di-jazem disebut berada dalam keadaan majzum.

Kelompok jabatan kata yang menyebabkan isim harus dibaca marfu’ disebut dengan istilah marfu’atul asmaa’. Isim-isim yang harus dibaca marfu’ itu antara lain; fa’il, na’ibul fa’il, mubtada’, khobar, isim kaana, khobar inna, dan tawabi’/pengikut-pengikut.

Fa’il (pelaku) adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il ma’lum dan menunjukkan yang melakukan perbuatan. Setiap ada fi’il ma’lum maka pasti ada fa’il sesudahnya. Fa’il bisa berupa kata yang tampak (zhahir) bisa juga berupa kata ganti (dhamir).

Na’ibul fa’il (pengganti pelaku) adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il maj-hul dan menunjukkan sesuatu yang dikenai perbuatan. Pada asalnya na’ibul fa’il adalah objek/maf’ul bih. Dikarenakan fa’il dihapus maka ia menggantikan tempatnya fa’il.

Mubtada’ adalah isim marfu’ yang biasanya terletak di awal kalimat. Setiap ada mubtada’ maka pasti ada khobar. Khobar berfungsi menyempurnakan makna/maksud dari mubtada’.

Isim Kaana adalah mubtada’ yang dimasuki oleh Kaana atau salah satu saudaranya. Kaana merupakan fi’il khusus yang menyebabkan mubtada’ berubah status menjadi isim kaana -dan ia dibaca marfu’- sedangkan khobar berubah menjadi khobar kaana -dan ia dibaca manshub-.

Khobar Inna adalah khobar yang dimasuki oleh Inna atau salah satu saudaranya. Inna merupakan harf khusus yang menyebabkan mubtada’ berubah menjadi dibaca manshub sebagai isim inna dan khobar menjadi tetap dibaca marfu’ sebagai khobar inna.

Tanda-tanda marfu’ pada isim terbagi menjadi dua; ada yang marfu’ dengan harokat, dan ada yang marfu’ dengan huruf. Marfu’ dengan harokat tandanya adalah diakhiri dengan dhommah. Adapun marfu’ dengan huruf tandanya adalah berupa huruf alif atau wawu.

Isim yang marfu’ dengan tanda dhommah -di akhir kata- adalah isim mufrod, jamak mu’annats salim, jamak taksir, dan isim laa yanshorif. Ada juga yang marfu’ dengan dhommah yang dikira-kirakan (dhommah muqoddaroh) yaitu pada maqshur dan manqush.

Isim yang marfu’ dengan alif adalah isim mutsanna. Adapun isim yang marfu’ dengan wawu adalah pada isim jamak mudzakkar salim dan asma’ul khomsah.

Kelompok jabatan kata yang menyebabkan isim harus dibaca manshub disebut dengan istilah manshubaatul asmaa’. Diantara kelompok isim yang harus dibaca manshub itu adalah yang menduduki jabatan sebagai isim inna dan khobar kaana, sebagaimana sudah dibahas di depan.

Masnhubaatul asmaa’ selain itu cukup banyak, diantaranya adalah; maf’ul bih, maf’ul muthlaq, maf’ul li ajlih, maf’ul ma’ah, maf’ul fih, haal, mustatsna, munada, tamyiz, dan isim laa.

Maf’ul bih (objek) adalah isim manshub yang biasanya terletak pada jumlah fi’liyah dan menunjukkan yang dikenai perbuatan. Ada fi’il yang membutuhkan objek, disebut fi’il muta’addi. Dan ada juga fi’il yang tidak butuh objek, disebut fi’il lazim. Ada fi’il yang objeknya satu, ada juga yang objeknya lebih dari satu.

Maf’ul muthlaq adalah isim mashdar (kata benda dari kata kerja) yang dibaca manshub untuk menegaskan suatu perbuatan atau menjelaskan jenisnya atau bilangannya.

Maf’ul li ajlih adalah isim manshub yang disebutkan untuk menjelaskan sebab atau alasan terjadinya suatu perbuatan. Maf’ul li ajlih juga dibuat dari isim mashdar dan biasanya berkaitan dengan hati.

Maf’ul ma’ah adalah isim manshub yang terletak setelah huruf wawu yang bermakna ‘bersama’ -disebut sebagai wawu ma’iyah-.

Maf’ul fiih adalah isim manshub yang disebutkan untuk menjelaskan waktu atau tempat terjadinya suatu perbuatan. Keterangan waktu disebut juga dharaf zaman, sedangkan keterangan tempat disebut dengan istilah dharaf makan.

Haal adalah isim manshub yang menerangkan keadaan pelaku atau objek ketika terjadinya perbuatan. Haal berupa isim nakiroh (indefinitif) sedangkan shahibul haal -yang dterangkan- harus berupa isim ma’rifah (definitif).

Mustatsna adalah isim manshub yang terletak setelah pengecualian/istitsnaa’. Kata-kata yang menunjukkan pengecualian cukup banyak, diantaranya adalah illa, ghaira, siwa, khala, dsb.

Munada adalah isim manshub yang terletak setelah huruf nida’/kata seru. Munada ada yang dibaca manshub dan ada juga yang dibaca mabni atas tanda dhommah. Apabila munada berupa ‘alam mufrod -nama yang hanya satu kata, tidak disandarkan- maka ia mabni atas dhommah. Demikian pula halnya apabila munada berupa orang yang sudah tertentu/nakiroh maqshudah.

Tamyiz adalah isim manshub yang disebutkan setelah sesuatu yang mengandung kesamaran (mubham) untuk menjelaskannya. Sesuatu yang samar dan dijelaskan itu disebut sebagai mumayyaz, sedangkan penjelasnya disebut sebagai tamyiz.

Isim laa adalah mubtada’ yang dimasuki oleh laa nafiyatu lil jinsi. Laa nafiyatu lil jinsi adalah salah satu saudara inna, oleh sebab itu ia memiliki isim laa dan khobar laa. Isim laa dibaca manshub apabila ia berupa mudhaf/disandarkan atau menyerupai mudhaf/syabih bil mudhaf. Apabila isim laa berupa isim nakiroh maka ia mabni atas tanda nashobnya tanpa tanwin.

Tanda-tanda manshub pada isim terbagi menjadi dua; manshub dengan harokat dan manshub dengan huruf. Tanda manshub dengan harokat adalah berupa harokat fathah di akhir kata atau berupa kasroh. Adapun tanda manshub dengan huruf berupa ya’ atau alif.

Isim yang manshub dengan fathah ialah isim mufrod, jamak taksir, manqush, dan isim laa yanshorif. Adapun isim yang manshub dengan fathah yang dikira-kirakan/fathah muqoddaroh adalah pada isim maqshur.

Isim yang manshub dengan ya’ adalah pada isim mutsanna dan jamak mudzakkar salim. Adapun yang manshub dengan kasroh adalah pada jamak mu’annats salim. Isim yang manshub dengan tanda alif ialah pada asma’ul khomsah.

Kelompok jabatan kata yang menyebabkan isim harus dibaca majrur disebut dengan istilah majruraatul asmaa’. Isim-isim yang majrur hanya ada tiga sebab; karena didahului huruf jar, mudhaf ilaih, atau karena tawabi’.

Huruf jar menyebabkan isim sesudahnya dibaca majrur. Demikian pula apabila ada suatu isim yang disandarkan/mudhaf kepada kata sesudahnya maka isim yang disandari/mudhaf ilaih harus dibaca majrur. Begitu pula isim yang terletak setelah maf’ul fiih atau dharaf/keterangan waktu atau tempat harus dibaca majrur.

Tawabi’ adalah kelompok jabatan kata yang dibaca mengikuti i’rob isim yang sebelumnya/isim yang diikuti olehnya (matbu’). Apabila yang diikuti marfu’ maka tabi’/pengikutnya juga marfu’. Demikian pula apabila matbu’nya manshub atau majrur maka tabi’/pengikutnya juga sama.

Tawabi’ ada empat macam; na’at, ‘athaf, taukid, dan badal. Na’at atau shifat adalah isim yang memberikan sifat bagi isim sebelumnya. Isim yang disifati disebut dengan man’ut atau maushuf. Na’at bisa berupa kata dan bisa juga berupa jumlah/kalimat.

‘Athaf adalah pengikut yang disebutkan setelah huruf ‘athaf. ‘Athaf bisa terjadi antara isim dengan isim atau fi’il dengan fi’il.

Taukid (penegas) adalah pengikut yang disebutkan untuk mempertegas kata sebelumnya. Kata yang ditegaskan disebut dengan istilah mu’akkad. Ada taukid dengan memakai kata-kata khusus disebut dengan taukid ma’nawi. Ada taukid dengan mengulang kata yang sama atau semakna, disebut dengan istilah taukid lafzhi.

Badal (pengganti) adalah pengikut yang disebutkan setelah isim untuk menjelaskan hakikat atau sosok yang dimaksud dengannya. Badal ada yang sesuai dengan yang dijelaskan (mubdal-nya), ada juga yang hanya sebagian dari mubdal-nya, ada juga yang berupa suatu sifat atau pengaruh darinya, ada juga badal yang menjelaskan kesalahan pengucapan.

Tanda-tanda majrur pada isim terbagi menjadi dua; ada yang majrur dengan harokat dan ada yang majrur dengan huruf. Yang majrur dengan harokat adalah dengan tanda kasroh dan fathah. Adapun yang majrur dengan huruf adalah dengan tanda ya’.

Isim yang majrur dengan kasroh ialah isim mufrod, jamak mu’annats salim, dan jamak taksir. Ada juga yang majrur dengan kasroh muqoddaroh yaitu pada isim maqshur dan manqush.

Isim yang majrur dengan fat-hah adalah isim laa yanshorif. Adapun yang majrur dengan ya’ adalah pada isim mutsanna, jamak mudzakkar salim, dan asma’ul khomsah.

Isim yang akhirannya tetap atau tidak bisa berubah disebut dengan isim yang mabni. Isim yang mabni ada beberapa macam, diantaranya; isim dhomir/kata ganti, isim isyarah/kata penunjuk, isim maushul/kata sambung, isim istifham/kata tanya, dan isim syarat/bermakna syarat.

Isim yang mabni memiliki tanda bina’/tetapnya akhir kata yang berbeda-beda juga. Ada yang mabni atas tanda sukun. Ada yang mabni atas tanda fat-hah. Ada yang mabni atas tanda kasroh. Dan ada juga yang mabni atas tanda dhommah.

Fi’il juga ada yang mu’rob dan ada yang mabni. Fi’il yang mabni akhirannya tidak bisa berubah, sedangkan fi’il yang mu’rob akhirannya bisa berubah apabila ada ‘amil/faktor yang mempengaruhinya.

Fi’il terbagi menjadi tiga; madhi/lampau, mudhori’/sekarang atau akan datang, dan fi’il amr/perintah. Fi’il madhi akhirannya mabni. Fi’il amr akhirannya mabni. Adapun fi’il mudhori’ ada yang mabni dan ada yang mu’rob.

Fi’il mudhori’ yang mabni adalah yang bersambung dengan nun inats atau nun taukid. Adapun yang mu’rob adalah fi’il mudhori’ yang tidak bersambung dengan keduanya. Fi’il mudhori’ yang mu’rob ini terbagi menjadi tiga bentuk; sahih akhir, mu’tal akhir, dan af’alul khomsah.

Fi’il mudhori’ sahih akhir adalah yang akhirannya huruf sahih. Adapun fi’il mu’tal akhir ialah yang diakhiri dengan huruf ‘illah/huruf penyakit. Huruf ‘illat itu ada tiga; alif, wawu, dan ya’. Selain ketiga huruf ini disebut dengan huruf sahih. Adapun af’alul khomsah adalah fi’il yang diakhiri dengan huruf ‘illat dan nun; bisa alif nun (aani), wawu nun (uuna), atau ya’ nun (iina).

Tanda i’rob pada sahih akhir adalah marfu’ dengan dhommah, manshub dengan fat-hah, dan majzum dengan sukun. Hukum asalnya fi’il itu marfu’ kecuali apabila didahului oleh penashob atau penjazem. Apabila dimasuki penashob maka ia menjadi manshub. Dan apabila dimasuki penjazem maka ia menjadi majzum.

Tanda i’rob pada mu’tal akhir adalah marfu’ dengan dhommah muqoddaroh dan majzum dengan dihapus huruf akhirnya. Adapun tanda manshubnya apabila dia diakhiri wawu atau ya’ maka manshub dengan tanda fathah. Tetapi apabila diakhiri dengan alif maka manshubnya adalah dengan tanda fathah muqoddaroh.

Tanda i’rob pada af’alul khomsah adalah tetapnya nun apabila marfu’, dan dihapus nun apabila manshub atau majzum. Tetapnya nun disebut dengan istilah tsubuutun nuun dan dihapusnya nun disebut dengan istilah hadzfun nuun.

Kata-kata yang menyebabkan fi’il berubah menjadi manshub atau majzum disebut dengan istilah ‘amil nashob dan ‘amil jazem. ‘amil nashob disebut juga alat penashob atau nawashib (jamak). Sedangkan ‘amil jazem disebut juga dengan istilah alat penjazem atau jawazim (jamak).

Fi’il yang mabni memiliki tanda-tanda bina’ yang bermacam-macam. Pada fi’il madhi tanda bina’nya dilihat pada huruf aslinya yang terakhir. Ada yang mabni dengan tanda fathah, ada yang dengan tanda dhommah, ada yang dengan tanda sukun. Tetapi tidak ada yang mabni dengan tanda kasroh.

Pada fi’il mudhori’ tanda bina’nya hanya dua; yaitu sukun dan fathah. Sukun apabila bersambung dengan nun inats dan fathah apabila bersambung dengan nun taukid.

Pada fi’il amr tanda bina’nya lebih banyak lagi. Apabila fi’il amr itu bersambung dengan nun taukid maka ia mabni atas tanda fathah. Apabila ia berasal dari mudhori’ sahih akhir maka mabni atas sukun. Apabila ia berasal dari mu’tal akhir maka mabni atas dihapus huruf ‘illat. Apabila ia berasal dari af’alul khomsah maka ia mabni dengan dihapus nun.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/ringkasan-kaidah-nahwu/